ABSTRAKSI
Pengembangan pariwisata
membawa pengaruh positif bagi masyarakat, yaitu meningkatnya taraf perekonomian
masyarakat. Namun, pengembangan sektor pariwisata juga membawa pengaruh lain,
yaitu terancamnya lingkungan kebudayaan masyarakat kita. Padahal, kemajuan
sektor pariwisata sedikit banyak ditentukan oleh kualitas kebudayaan
masyarakat. Lingkungan budaya ini yang menjadi daya tarik terbesar dunia
pariwisata.
Jika hal tersebut tidak
segera diatasi, lama kelamaan dua sektor tersebut akan sama-sama mengalami
kemerosotan. Sektor pariwisata akan mengalami kemerosotan karena lingkungan
budaya tidak menarik lagi. Sektor kebudayaan akan mengalami kemerosotan karena
masyarakat terpengaruh oleh budaya lain/budaya barat.
Solusinya adalah
mengembangkan pariwisata yang berwawasan lingkungan budaya. Untuk menciptakan
pengembangan pariwisata berwawasan lingkungan ada lima hal yang dapat ditempuh.
Pertama, pembangunan fisik memperhatikan kekhasan Yogyakarta. Kedua,
menghidupkan wisata budaya tradisional. Ketiga, memberikan pendidikan budaya
pada generasi muda. Keempat, penghargaan terhadap warisan nenek moyang. Dan
kelima, pengalokasian dana untuk pengembangan kebudayaan.
Jika berhasil diciptakan pengembangan pariwisata
berwawasan lingkungan budaya, tercapailah simbiosis mutualisma antara sektor
pariwisata dan sektor lingkungan budaya.
I.
Pendahuluan
Dalam
hubungannya dengan pembangunan secara keseluruhan, pembangunan sektor
pariwisata tampaknya merupakan sektor yang berkembang cukup pesat. Hal ini
dapat diketahui dari semakin besarnya devisa yang dihasilkan dari sektor ini.
Di samping perolehan devisa, perkembangan sektor ini dapat diketahui dari
maraknya bisnis di sekitar dunia pariwisata seperti bisnis perhotelan, bisnis
perjalanan wisata, dan bisnis rumah makan. Ukuran lain yang juga menjadi
indikator pesatnya sektor pariwisata adalah menjamurnya pendidikan berbasis
pariwisata dan perhotelan.
Perkembangan
sektor pariwisata ini di satu sisi memberikan keuntungan ekonomis yang cukup
tinggi. Keuntungan ekonomis ini membawa pengaruh pada pendapatan negara secara
umum dan kesejahteraan masyarakat sekitar secara khusus. Kehadiran wisatawan
dapat diartikan sebagai kehadiran rezeki bagi sejumlah orang mulai para pemandu
wisata, tukang becak, sampai dengan para pedagang. Dengan demikian, sektor
pariwisata bukan sekedar memberikan keuntungan bagi pelaku-pelaku bidang
pariwisata melainkan juga memberikan keuntungan sektor-sektor lain di luar
pariwisata.
Namun,
karena tuntutan untuk mencari keuntungan ekonomi semata, ada sejumlah hal yang
pada akhirnya terkorbankan atau tidak diperhatikan. Misalnya saja, karena
tuntutan penyediaan penginapan bagi para wisatawan, sejumlah tempat dibongkar
untuk mendirikan hotel. Karena tuntutan pengembangan pariwisata terjadi
pembebasan tanah besar-besaran.
Akibatnya, pola
hidup dan perilaku sejumlah anggota masyarakat di sekitar obyek wisata menjadi
menyimpang dari pola hidup dan perilaku budaya aslinya. Bahkan banyak di antara
mereka rela mengorbankan etika dan sopan santun demi “keuntungan finansial”.
Misalnya saja, banyak orang berusaha keras merayu para wisatawan untuk membeli
produk atau souvenir tertentu dengan harapan orang tersebut memperoleh “bonus”
dari para penjualnya.
Jika
kecenderungan-kecenderungan tersebut tidak segera diatasi, ada kemungkinan
sektor pariwisata mengalami stagnasi, bahkan kemunduran. Hal itu disebabkan
karena para wisatawan tentu saja akan mengkomunikasikan pengalaman pahit
tertentu pada teman-temannya. Lama kelamaan jumlah wisatawan akan berkurang.
Hal itu mengakibatkan mundurnya sektor pariwisata.
Di samping
itu, perilaku yang terlalu mengarah pada
pencarian keuntungan dalam menyambut para wisatawan bisa berakibat
merosotnya kualitas kebudayaan kita. Bahkan bisa jadi kebudayaan kita akan
semakin punah. Yang pada akhirnya budaya sebagai salahsatu daya tarik sektor
pariwisata akan menjadi kehilangan daya tariknya.
Dalam kaitannya
dengan pengembangan Yogyakarta yang memang tampaknya telah bertekat menjadikan
sektor pariwisata sebagai sektor unggulan, masalah ini perlu mendapat perhatian
serius sehingga dapat ditemukan jalan tengah yang saling menguntungkan antara
kepentingan pariwisata dan kepentingan pelestarian kebudayaan daerah.
II. Pentingnya Pengembangan Sektor Pariwisata
Dalam
kehidupan masyarakat modern, rekreasi merupakan kebutuhan hidup manusia yang
tidak dapat dihilangkan lagi. Hal ini berkaitan erat dengan kesibukan hidup
sehari-hari yang pada akhirnya membutuhkan penyeimbang berupa kesantaian dan
refresing. Kebutuhan akan kesantaian dan refresing ini perlu mendapat jawaban
berupa bisnis rekreasi dan hiburan. Dalam hal ini sektor pariwisatalah yang
berkepentingan.
Dari sisi
lain, pengembangan sektor pariwisata mampu mendorong pengembangan sektor-sektor
lain baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pengembangan kawasan
pantai misalnya, akan mendorong pengembangan bidang transportasi baik berupa
perbaikan jalan maupun route angkutan kendaraan umum. Perbaikan sarana jalan
dan angkutan kendaraan umum mengakibatkan daerah di sekitarnya terbebas dari
isolasi, yang pada akhirnya membawa pengaruh pada dinamika kehidupan
penduduknya. Di samping itu, pengembangan sektor pariwisata membuka peluang
bagi penduduk sekitarnya untuk meningkatkan taraf perekonomian melalui bisnis
rumah makan maupun penginapan.
Dalam skala
yang lebih besar, kesejahteraan dunia membawa pengaruh pada orang-orang dari
berbagai penjuru dunia untuk mengenal kebudayaan dari negara lain. Salahsatu
caranya adalah dengan mengadakan perjalanan wisata. Keingintahuan ini
menghasilkan keuntungan ekonimis berupa masuknya devisa pada keungan negara.
Pada akhirnya, bisnis pariwisata memberikan keuntungan yang cukup besar dari
berlapis bagi bangsa dan masyarakat.
Melihat
sejumlah indikator di atas, pengembangan sektor pariwisata tampaknya menjadi
sesuatu yang penting dan perlu mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak.
Karena jika sektor ini tidak mendapat perhatian khusus, mata rantai pencarian
nafkat mulai dari para tukang becak, pemandu wisata, pengelola perjalanan
wisata, sampai keuangan negara akan terpengaruh. Sebaliknya jika sektor ini
pendapat perhatian khusus dan pada akhirnya sektor ini menjadi maju, banyak
pihak yang diuntungkan.
III. Kedudukan Lingkungan Budaya dalam Pariwisata
Pengembangan
pariwisata meliputi berbagai bidang. Di antaranya adalah pengembangan wisata
alam (pantai, gunung, gua) dan pengembangan wisata budaya (upacara tradisional,
pakaian tradisional, tari). Kedua bidang tersebut sama-sama memiliki daya tarik
khusus bagi para wisatawan. Namun, jika kita mau mencoba mencermati
kecenderungan para wisatawan khususnya wisatawan mancanegara, bidang yang
menjadi daya tarik utama adalah bidang kebudayaan. Pariwisata alam tampaknya
hanya menjadi “tempat beristirahat” bagi para wisatawan.
Ketertarikan
wisatawan pada bidang budaya dapat diketahui dari berbagai indikator. Pertama, banyaknya wisatawan yang
mengunjungi Kraton Yogyakarta. Keingintahuan wisatawan terhadap Kraton
Yogyakarta dilandasi oleh keingintahuan akan pusat kebudayaan Jawa. Kedua, banyaknya wisatawan yang
tertarik membeli benda-benda tradisional khas. Ketiga, banyaknya wisatawan yang tertarik mempelajari budaya khas
seperti menari dan membatik. Keempat,
banyaknya wisatawan yang tertarik dengan keramahtamahan kita dalam menanggapi
mereka.
Dalam
jangka panjang, bidang kebudayaan tampaknya akan lebih mendominasi motivasi
wisatawan. Hal ini berkaitan erat dengan semakin langkanya nuansa tradisional
di negara-negara maju. Karena kelangkaan
tersebut, banyak orang ingin mengetahui bentuk-bentuk budaya asli nenek moyang
mereka.
Dalam
hubungannya dengan kecenderungan pengembangan pariwisata budaya, Yogyakarta
bisa dipandang sebagai kota yang kaya akan potensi pariwisata kebudayaan baik
fisik maupun nonfisik. Yang dimaksud potensi pariwisata kebudayaan fisik adalah
bangunan-bangunan yang menjadi simbol keluhuran budaya nenek moyang. Obyek
pariwisata kebudayaan jenis ini misalnya Kraton, Water Castle, Prambanan, dan Pakaulaman. Sedangkan yang dimaksud
potensi pariwisata kebudayaan nonfisik adalah berbagai jenis permainan, batik,
jathilan, kerajinan tradisional, dan berbagai jenis tari tradisional.
Jika sektor
pariwisata budaya ini benar-benar dikelola oleh pemerintah, Yogyakarta akan
mampu bersaing dengan negara-negara lain yang maju dan mempunyai komitmen untuk
mengembangkan priwisata budaya seperti Korea dan Jepang. Namun, jika sektor ini
justru tidak terperhatikan, dan fokus pengembangan hanya pada pariwisata alam, lama
kelamaan para wisatawan akan bosan karena pada dasarnya pariwisata alam
bersifat statis dan sekali datang.
Namun
demikian, jika pengembangan pariwisata budaya ini dikembangkan dengan
sembarangan, pengembangan pariwisata ini bisa menjadi bumerang atas kebudayaan
itu sendiri. Eksploitasi besar-besaran terhadap pariwisata budaya akan
mengakibatkan budaya tersebut kehilangan kualitasnya. Akibatnya, kebudayaan
hanya sekedar simbol-simbol mati, tanpa makna. Pembisnisan budaya yang
berlebihan juga akan mengaburkan hakikat dari kebudayaan itu sendiri. Pada
akhirnya, kebudayaan tercabut dari asal-usulnya, yaitu masyarakat.
Pada sektor
lain, pengembangan kebudayaan yang hanya diorientasikan pada pariwisata juga
akan mengakibatkan para pelakunya terlalu “bisnis oriented”. Bisnis
oriented dalam bidang budaya atau komersialisasi budaya sebenarnya merupakan efek samping terjadinya
transformasi budaya dalam proses pembangunan suatu negara. Menurut Suyatno
Kartodirdjo (1992:145), ada empat masalah yang timbul sebagai akibat
tranformasi budaya, yaitu masalah ketahanan budaya dan konflik nilai, masalah
komersialisasi budaya, masalah materialisme dan konsumerisme, dan masalah
konflik sosial.
Akibatnya,
motivasi utamanya bukan lagi menunjukkan keluhuran budaya yang dimilikinya
melainkan pada pertimbangan bisnis semata. Jika hal itu terjadi, kebudayaan
bisa dimanipulasi demi kepentingan bisnis. Bahkan jika tidak diperhatikan
secara sungguh-sungguh hal itu akan mengakibatkan munculnya budaya baru yang
tidak berakar pada kepribadian dan identitas bangsa. Transoformasi yang tidak
berakar pada kedua hal tersebut akan menghasilkan budaya modern yang pada
gilirannya akan menelan jenis budaya-budaya (tradisional) yang mempunyai
nilai-nilai pencerminan kepribadian bangsa dan identitas bangsa (Kartodirdjo,
1992:146)
Dalam
hubungannya dengan transformasi kebudayaan sebagai akibat pengembangan sektor
pariwisata, ada baiknya disimak pendapat dari Sutan Takdir Alisahbana(Rahmanto,
1992:141). Beliau mengatakan bahwa transformasi budaya yang disebabkan oleh
penerapan teknologi maju yang terlepas dari perspektif budaya bangsa akan
mengakibatkan manusia dikuasai teknologi, dan bukan sebaliknya.
IV. Solusi Pengembangan Pariwisata Berwawasan Lingkungan
Permasalahan
pokok yang kiranya perlu dicari jalan keluarnya adalah bagaimana kita mampu
mengembangkan pariwisata yang berwawasan lingkungan budaya. Dalam hal ini ada
beberapa hal yang sekiranya dapat dipertimbangkan sebagai alternatif
pengembangan pariwisata berwawasan lingkungan kebudayaan.
Pertama,
pembangunan fisik yang memperhatikan kekhasan Yogyakarta. Sebagai
bagian dari kebudayaan Jawa, masyarakat Yogyakarta mengenal berbagai bentuk
bangunan fisik. Dalam rangka menciptakan lingkungan budaya, fasilitas-fasilitas
penunjang pariwisata seperti hotel, rumah makan, dan rumah penduduk sebaiknya
mencerminkan bentuk bangunan khas Yogyakarta. Gedung-gedung bertingkat, rumah
dengan bentuk atau corak barat, dan fasilitas perkantoran bergaya Barat
sebaiknya dibatasi secara sungguh-sungguh. Dominasi gedung bertingkat dan rumah
bergaya Barat mengakibatkan bentuk-bentuk fisik khas Yogyakarta menjadi pudar
dan lama kelamaan hilang dengan alasan ekonomis (penghematan tempat).
Dalam
kaitannya dengan mempertahankan kekhasan budaya Yogyakarta, ada baiknya kit
simak pendapat dari P.J. Suwarno (1992). Beliau mengatakan bahwa Sultan yang
memegang kekuasaan kharismatik, tradisional, dan legal-rasional menggunakan
kekuasaan itu secara bijaksana untuk mentransformasikan Yogyakarta dari
tradisional ke modern tanpa menghancurkan tradisi, tetapi menyeleksinya untuk
dimanfaatkan dalam modernisasi Yogyakarta. Jika pendapat itu kita hubungkan
dengan upaya mempertahankan bentuk fisik khas Yogyakarta, dapat dikatakan bahwa
boleh jadi bentuk luarnya adalah bentuk khas Yogyakarta tetapi fasilitas
dalamnya dikemas dalam nuansa modern.
Kedua, menghidupkan wisata budaya tradisional. Wisata
tradisional yang dimaksudkan di sini adalah penyajian berbagai bentuk
kebudayaan tradisional kepada para
wisatawan. Bentuk-bentuk kebudayaan tradisional yang dimaksudkan antara lain
jathilan, kirab pusaka, sekaten, dolanan bocah, dan upacara adat. Bentuk-bentuk
kebudayaan ini sebenarnya memiliki daya tarik tinggi tetapi karena jarang
dipertunjukkan secara rutin, para wisatawan kadang-kadang kesulitan menyaksikannya.
Ketiga, memberikan pendidikan budaya pada generasi muda. Sumber
kemerosotan budaya sebenarnya bermula
dari ketidaktahuan masyarakat akan pentingnya pemeliharaan kebudayaan bagi
kelangsungan hidup sektor pariwisata. Akibat ketidaktahuan ini, banyak generasi
muda justru mengikuti kebudayaan asing daripada memelihara kebudayaan sendiri.
Sehingga, ketika mereka berhadapan dengan para wisatawan, yang dikedepankan
adalah sikap dan perilaku yang meniru mereka, seperti berbicara dengan bahasa
asing, berpakaian dengan gaya asing, dan bahkan berperilaku yang tidak sesuai
dengan kebudayaan sendiri.
Slamet
Sutrisna ( 1992:147) mengatakan bahwa perubahan kebudayaan tidak hanya
melibatkan sistem normatif tetapi juga melibatkan sistem kognitif. Dalam hubungannya
dengam masyarakat Indonesia yang sedang membangun, budaya keilmuan harus
dikembangkan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, pengembangan dan
pelestarian lingkungan budaya perlu dihubungkan dengan proses pendidikan bagi
generasi penerusnya.
Keempat, penghargaan terhadap warisan nenek moyang. Warisan
nenek moyang kita berupa tosan aji, gebyog, perabot tradisional, dan barang
antik lainnya tampaknya semakin merosot seiring dengan maraknya bisnis barang
antik. Banyak sekali perabot tradisional yang diperjualbelikan dan diekspor ke
luar negeri. Keuntungan ekonimisnya memang cukup besar, namun kita kehilangan
barang-barang warisan nenek moyang. Padahal barang-barang seperti itu juga
memiliki nilai sejarah dan memiliki daya tarik pariwisata. Jika pada akhirnya
benda-benda seperti itu habis berpindah ke luar negeri, pariwisata kita akan
kehilangan obyek yang bisa dipromosikan.
Kelima, pengalokasian dana untuk pengembangan kebudayaan. Dalam
hubungannya dengan anggaran pembangunan, anggaran pembangunan sarana fisik
tampaknya masih menjadi perhatian utama dan menyerap banyak sekali dana.
Padahal, pengembangan sarana fisik inilah yang secara langsung menghancurkan
lingkungan budaya masyarakat tertentu. Munculnya hotel megah di antara rumah
penduduk membawa akibat berubahnya budaya masyarakat sekitarnya. Alangkah
baiknya jika dalam waktu mendatang pengalokasian dana untuk pengembangan
kebudayaan ditambah atau diperbesar. Masyarakat tradisional sebenarnya masih
ingin memainkan jathilan, tayub ataupun slawatan. Namun karena terbentur pada
masalah anggaran mereka tidak mampu mengembangkan kebudayaan itu. Jika tersedia
anggaran, niscaya mereka akan dengan senang hati mengadakan pertunjukan
jathilan secara rutin, mereka akan senang hati mengadakan pertunjukan tayub secara
rutin. Apalagi jika para pelaku budaya tersebut
mendapat insentif berupa uang lelah atas pentas mereka.
V. Penutup
Solusi yang
sekiranya paling bijaksana adalah membangun simbiosis mutualisma antara
pariwisata dan budaya. Artinya, sambil mengembangkan sektor pariwisata, kita
juga turut serta melestarikan lingkungan budaya kita. Sambil melestarikan
kebudayaan kita, kita mengemas pelestarian tersebut dengan berorientasi pada
pariwisata. Jika hal itu dapat teruwujud, semaju apapun negara kita, kebudayaan
tradisional akan tetap terpelihara tanpa mengabaikan pengembangan pariwisata.
Daftar Pustaka
Desky,
M.A. 2001. Manajemen Perjalanan Wisata. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa.
Kartodirdjo, Suyatno. 1992.
“Tranformasi Budaya dalam Pembangun” dalam Tantangan Kemanusian Universal.
Yogyakarta : Kanisius
Roem, Mohamad, dkk. 1982. Tahta
Untuk Rakyat : Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX. Jakarta
: PT. Gramedia.
Sutrisna, Slamet. 1992.
“Budaya Keilmuan dan Situasinya di Indonesia” dalam Tantangan Kemanusiaan Universal. Yogyakarta : Kanisius.
Suwarno, P.J. 1992. “Belajar
dari Sejarah Yogyakarta untuk Memasuki Era Globalisasi” dalam Tantangan
Kemanusiaan Universal.
Yogyakarta : Kanisius.
Tnunay, Tontje. 1991. Yogyakarta
Potensi Wisata. Klaten :CV. Sahabat.