1. Orang Sebagai Subyek Hukum
Subyek Hukum ialah segala sesuatu yang pada dasarnya
memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Yang termasuk dalam
pengertian Subyek Hukum ialah manusia atau orang (naturlijke person) dan badan
hukum (recht person) misalnya PT, PN, Koperasi dan yang lain.
Dulu masih ada budak belian yang menurut hukum tidak
lebih dari suatu barang saja. Budaya kita sekarang sudah demikian majunya
sehingga suatu perikatan pekerjaan yang dapat dipaksakan tidak diperkenankan
lagi di dalam lalu lintas hukum.
Seseorang yang tidak suka melakukan suatu pekerjaan yang
ia harus lakukan menurut penjanjian, tidak dapat secara langsung dipaksa untuk
melakukan pekerjaan itu. Paling tidak ia hanya dihukum untuk membayar kerugian
dalam bentuk uang, ataupun harta bendanya, dapat disita sebagai tanggungan atas
kewajibannya. Karena hal ini sudah merupakan suatu azas dalam Hukum Perdata.
Perihal kematian perdata yang bunyinya : jo UUDS th 1950
pasal 15. Tiada suatu hukuman pun mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan
segala hak-hak kewargaan.
Hanyalah mungkin seseorang terhukum dicabut hak-haknya,
contohnya kekuasaannya sebagai orang tua terhadap anak-anaknya, kekuasaannya
sebagai wali, haknya untuk bekerja pada angkatan bersenjata dan sebagainya.
Suatu hukuman yang mirip dengan kematian perdata ialah
sandera (Gijzeling) yaiitu penahanan yang dikenakan terhadap seorang debitur
(berhutang) yang lalai atau yang sengaja tidak mau memenuhi kewajibannya
membayar hutangnya atau terhadap seseorang yang diduga keras akan mengasingkan
barang-barang yang menjadi tanggungan / jaminan atas hutangnya.
Mengenai sandera ini Undang-Undang bersikap banci, yaitu
ada peraturan Undang- Undang yang membenarkan sandera seperti dapat kita lihat
dalam pasal 209 ayat 1 RIB/I-HR dan Undang-Undang no 49/1960 (PUPN boleh
melakukan sandera terhadap orang yang tidak mau membayar kembali hutangnya
kepada negara). Sedangkan Undang-Undang yang lainnya tidak membenarkan sandera
seperti SEMA no 2/1964 (tentang penghapusan sandera) dan Undang-Undang pokok
kekuasaan kehakiman no 14 tahun 1970 (Hakim harus mengindahkan perikemanusiaan
dan perikeadilan dalam menjalankan keputusannya, pasal 33 ayat 4).
Juga orang yang dinyatakan pailit oleh pengadilan, ia
kehilangan hak untuk berbuat bebas atas barang-barangnya yang diletakkan di
bawah pengawasan pengadilan, barang- barang mana menjadi tanggungan
hutang-hutangnya.
Seorang yang dinyatakan pailit kehilangan hak untuk
berbuat bebas atas harta kekayaannya. Ini berani ia tidak dibenarkan untuk
mengasingkan (menjual, menukarkan, menghibahkan atau mewariskan harta
kekayaannya).
Berlakunya seseorang sebagai subyek hukum (pembawa hak)
yaitu pada saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat orang tersebut meninggal.
Bahkan bila perlu demi untuk kepentingannya sebagai subyek hukum (pembawa hak)
dapat dihitung Surut yaitu dimulai waktu masih berada dalam kandungan, akan
tetapi pada saat dilahirkan orang tersebut dalam keadaan hidup.
Hal ini tentunya akan merupakan tanda tanya, mengapa ini
penting untuk dibicarakan. Adapun kegunaarmya yaitu sehubungan dengan perihal
warisan yang terbuka ketika seseorang tersebut masih berada dalam kandungan
ibunya.
Perihal tiap-tiap orang dapat memiliki hak-hak menurut
hukum tanpa kecuali, hal ini adalah benar, namun di dalam hukum tidak semua
orang diperkenankan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya tersebut.
Ada beberapa golongan yang oleh Undang-Undang telah dinyatakan tidak cakap atau
kurang cukup untuk melakukan sendiri perbuatan perbuatan hukum itu. Mereka itu
adalah :
1._ Orang-orang yang belum dewasa atau masih di bawah
umur.
Oleh KUHP (BW) yang dimaksud orang yang belum dewasa
(masih di bawah Umur) ialah apabila seseorang belum mencapai 21 tahun. Keeuali
bagi seseorang yang walaupun belum berusia 21 tahun tapi telah kawin (menikah)
maka ia dianggap dewasa dan dapat melakukan sendiri perbuatan hukum itu. Hanya
dengan catatan apabila sebelum berusia 21 tahun ia bercerai, maka ia dianggap
sebagai orang yang masih di bawah umur lagi.
Dan bagi wanita yang telah menikah, menurut KUHP (BW)
pada umumnya tidak diperkenankan bertindak sendiri di dalam lalu lintas hukum,
tetapi ia harus dibantu oleh suaminya.Dan oleh BW, wanita bersuami ini dianggap
kurang cakap untuk bertindak sendiri dalam hukum. Di samping itu ada beberapa
pasal dalam KUHP (BW) yang memperbedakan antara kecakapan orang lelaki dan
wanita.
1. Wanita dapat kawin jika ia telah berusia 15 tahun dan
pria 18 tahun
2. Wanita tidak diperbolehkan kawin sebelum lewat 300
hari setelah perkawinannya diputuskan, sedang untuk pria tidak ada larangan.
3. Seorang pria baru dapat mengakui anaknya bila ia telah
berusia paling minim 19 tahun sedang wanita tidak ada batasan usia.
2._Orang-orang yung ditaruh di bawah pengawasan
(Curatele) yang selalu harus diwakili oleh orang tuanya, walinya, atau
kuratornya.
Di atas telah disebutkan bahwa disamping orang sebagai
subyek hukum (pembawa hak), badan-badan hukum juga dapat memiliki hak-hak dan
dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti manusia. Karena badan-badan
hukum dan perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan sendiri. Dan ikut
sertanya badan hukum dan perkumpulan itu yaitu melalui perantara pengurusnya.
Berarti badan-badan hukum dan perkumpulan itu dapat
digugat dan menggugat dimuka hakim melalui tersebut. Mengenai (tempat tinggal),
setiap orang akan menurut hukum harus mémilikinya sebagai tempat kedudukan
tertentu.
Hal ini perlu, antara lain:
1. Bila seseorang akan kawin (menikah), tempat tinggal
(domisilinya) jelas.
2. Begitu juga bila seseorang dipanggil di pengadilan
oleh suatu urusan.
3. Dan untuk menentukan pengadilan mana yang berkuasa
mengadili seseorang sesuai dengan ternpat tinggalnya. Misalnya si A bextempat
tinggal di Jakaxta Pusat, maka , yang berhak mengadili adalah Pengadilan
Jakarta Pusat.
2. Obyek Hukum
Obyek Hukum adalah segala sesuatu yang berada di dalam
pengaturan hukum dan dapat dimanfaatkan oleh subyek hukum berdasarkan
hak/kewajiban yang dimilikinya atas obyek hukum yang bersangkutan. Jadi obyek
hukum itu haruslah sesuatu yang pemanfaatannya diatur berdasarkan hukum.
Misalnya segala macam benda, hak atas sesuatu dan
sebagainya, yang cara peralihannya berdasarkan hukum (umpamanya berdasarkan
jual beli sewa menyewa, waris mewaris, perjanjian dan sebagainya).
Sebagai obyek hukum yaitu segala sesuatu yang berada
dalam pengaturan hukum, hal ini memang perlu ditegaskan berhubung karena
disamping segala sesuatu yang manfaatnya harus diperoleh dengan jalan hukum,
ada pula sesuatu yang manfaatnya dapat diperoleh tanpa perlu atau tanpa
berdasarkan hukum, yaitu sesuatu yang dapat diperoleh secara bebas dan alam
(misalnya benda non ekonomi), seperti : angin, cahaya matahari, bulan, , hujan
air, pegunungan, yang pemanfaatannya, tidak diatur oleh hukum. Hal•hal tersebut
tidak termasuk sebagai obyek hukum karena tidak memerlukan pengorbanan.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar